Psikologi Berantem Cemen ala Farhat Abbas

Written By Asepsandro on Sunday 1 December 2013 | 09:14

Sumber gambar : google.com
Mendengar begitu derasnya berita perseteruan Farhat Abbas dan Ahmad Al Ghazali (Al) di media sosial membuat saya jadi penasaran. Namun, seketika saya menjadi geli setengah mati ketika Farhat Abbas menerima tantangan Al untuk bertarung diatas ring tinju. Ini sangat konyol, bagaimana mungkin seorang sarjana berpendidikan tinggi menantang seorang bocah yang masih sekolah. Di mana – mana pendekar itu cari pendekar yang lebih tinggi ilmunya untuk dijadikan sebagai lawan tanding.

Saya jadi teringat dengan masa kecil saya di kampung. Di kampung, dulu, saya sering disuguhi pemandangan pertarungan antar anak - anak desa. Ini memang sudah jadi tradisi di kampung saya, seperti suatu ajang unjuk kekuatan dan keberanian, yang nantinya pemenang pertarungan itu akan menjadi jagoan di kampung. Pertarungan ini sangat fair dan sportif. Ada urutan posisi jagoan diantara kita, dari posisi satu hingga dua puluh. Anak yang posisinya diurutan kesepuluh dilarang menantang bertarung anak yang posisinya ketujuh. Ia baru bisa menantangnya ketika ia sudah mampu mengalahkan anak yang ada diposisi kesembilan dan kedelapan. Ada juga peraturan yang menyebutkan kalau ditempat manapun anak – anak dewasa dilarang menantang anak – anak kecil, dan sebaliknya.

Kalau ketahuan ada anak yang usianya lebih tua menantang anak kecil, mereka (anak yang usianya lebih tua) itu akan dianggap sebagai anak –kecil juga. Dan biasanya mereka yang ketahuan nantangin atau ngeladenin anak kecil bertarung itu akan diejek dan dikucilkan dari teman – teman sebayanya. Maka harga diri menjadi sangat penting diantara kami waktu itu. Hal ini terlihat jika akan ada pertarungan memperebutkan posisi, sang jagoan kampung yang berada diposisi satu akan mendapat tempat spesial dan terhormat di arena bertanding. Semua hal ini kami lakukan saat itu untuk hiburan saja, karena setelah selesai bertarung kami biasa saja, tetap berteman dan tidak saling dendam.

Seseorang kalau sudah jadi pendekar itu berarti ilmunya sudah tinggi. Kalau mau bertarung pasti dan harus pilih – pilih. Tidak sembarang orang ditantang atau diladeni bertarung. Ya masa pesilat sabuk merah atau hitam mau nantang atau ngeladeni pesilat sabuk putih. Ini bukan masalah boleh atau tidak, tapi pantas atau tidak pantas. Jika pendekar yang sudah berilmu tinggi itu nantangin atau ngeladeni berkelahi orang yang belum jadi pendekar artinya ia sama saja derajatnya atau ilmunya dengan orang yang ditantang atau diladeni itu.

Dimana – mana pendekar itu dulu ya nyari orang yang lebih hebat dari dirinya. Karena dia ingin menguji sejauh mana ilmu dan kesaktian yang dimiliki. Maka ia akan mencari lawan tanding yang sebanding atau kalau bisa yang lebih hebat darinya. Dimana - mana seperti itu kan dulu, difilm – film silat ceritanya juga begitu kan. Kalau dia lalu kalah dengan pendekar yang lebih dari dirinya, ia tidak lantas turun derajat. Justru Ia akan merasa terhormat karena ia telah bertarung pendekar yang lebih hebat ilmunya. Lalu ia akan berlatih lagi untuk meningkatkan ilmu dan kesaktiannya agar suatu hari kelak ia bisa mengalahkan pendekar yang telah mengalahkannya itu. Ia akan terus meningkatkan kemampuan silatnya sampai ia mencapai yang tertinggi. Itulah pendekar sejati.

Nah, kalau ceritanya sekarang si Farhat Abbas itu nantangi AL Ghazali bertarung, ya silahkan teman – teman pembaca menyimpulkan sendiri. Oke!!

RawaBelong, 30 November 2013
@asepsandro_del

Ditulis Oleh : Asepsandro ~asepsandro

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Psikologi Berantem Cemen ala Farhat Abbas yang ditulis oleh asepsandro yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 09:14

0 komentar:

Post a Comment