Catatan ini mulanya lahir dari kegelisahan penulis dari kejadian tadi sore yang kemudian mengingatkan penulis oleh keluh kesah teman yang datang dari Jakarta Selatan yang tempo hari bertamu ke tempat tinggal saya di daerah Palmerah, Rawabelong, Jakarta Barat.
“Buset dah, ni jalan kenapa bisa kayak gini ya”. Begitu komentar teman saya tempo hari yang bertamu ke tempat tinggal saya.
Sore itu seperti biasanya saya melintas Jalan Rawabelong setelah pulang kerja. Seperti biasanya pula sesampainya mendekati pertigaan Binus Syahdan Rawabelong kendaraan mulai melambat dan lama kelamaan akhirnya berhenti dan terjadilah kemacetan. Kendaraan baru bisa berjalan normal setelah melewati pertigaan tersebut sebelum tejadi kemacetan lagi di pertigaan menjelang trafic light di akhir penghujung jalan Rawabelong.
Memang itulah yang terjadi di sini, mungkin jauh sebelum teman saya datang tempo hari. Ya, daerah Palmerah Rawabelong adalah salah satu daerah yang paling saya hindari dalam perjalanan kemana pun dan dimana pun. Namun dengan rasa menyesal saya katakan bahwa daerah tempat tinggal saya berada di kawasan tersebut. Jadi dengan sendirinya saya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari daerah ini. Tiga kata untuk yang satu ini… Kasian Deh Gue…..
Daerah jalan Rawabelong adalah daerah yang terletak di kawasan kampus Binus (Bina Nusantara) Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat. Kemacetan, panas dan polusi udara akan selalu menyertai para pejalan dan pengendara yang melintas wilayah ini terutama di waktu jam berangkat dan pulang kerja. Selain mungkin dengan keberadaan kampus Binus yang padat dengan mahasiswa, ada beberapa hal yang bisa saya catat selama setahun saya tinggal di area ini.
Pertama adalah faktor angkutan kota alias angkot. Ada dua angkot melewati daerah ini yaitu angkot M11 dan M24. Pertemuan antara keduanya berada di titik pertigaan Jl. KH. Syahdan yang merupakan titik kemacetan terparah didaerah ini. Kita tahu sendiri aksi para tukang angkot yang seringkali menaik dan menurunkan penumpang sesuka hatinya. Selain aksi para sopir tersebut, kehadiran angkot disini menurut saya terlampau berlebihan jumlahnya. Tidak jarang saya melihat satu angkot hanya mengangkut tidak lebih dari 3 penumpang. Menurut saya untuk faktor pertama ini solusi yang efektif adalah mengurangi jumlah angkot yang ada.
Kedua adalah faktor pedagang asongan dan kaki lima. Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan para pedagang ini sedikit banyak mendukung terciptanya kemacetan di daerah ini. Tempo hari saya melihat adanya pembongkaran alas semen yang dibuat oleh para pedagang diatas selokan air oleh dinas pekerjaan umum. Tujuannya kemungkinan besar adalah agar para pedagang tidak lagi berjualan disana. Sepengetahuan saya keberadaan para pedagang ini juga mengganggu para pejalan kaki terutama mahasiswa yang seharusnya mendapat akses untuk keamanan dan kenyamanan berjalan.
Ketiga adalah faktor Seven Eleven Shop. Sejak adanya toko atau apalah sebutannya berjudul seven eleven ini bulan April kemarin, kemacetan di pertigaan Binus-Rawabelong menjadi semakin tak karuan. Kemacetan oleh faktor ini terjadi karena adanya aktivitas parkir motor dan mobil yang membuat beberapa pengendara dan pejalan kaki harus menghentikan sejenak perjalanannya. Secara tidak langsung ketika pengendara didepan berhenti maka pengendara dibelakangnya pun juga berhenti dan pengandara dibelakangnya lagi juga berhenti dan pengendara dibelakangnya lagi berhenti juga dan seterusnya dan seterusnya dan akhirnya lahirlah M.A.C.E.T.
Akhirnya saya hanya bisa merenung dan berdo’a, semoga ada pihak yang mengerti keadaan ini, dan segera membuat solusi untuk mengatasinya. Dan selama itu belum terrealisasi, saya harus bisa ekstra sabar untuk selalu menjalani aktivitasku yang tak terlepas dari kemacetan di Rawabelong ini.
“Buset dah, ni jalan kenapa bisa kayak gini ya”. Begitu komentar teman saya tempo hari yang bertamu ke tempat tinggal saya.
Sore itu seperti biasanya saya melintas Jalan Rawabelong setelah pulang kerja. Seperti biasanya pula sesampainya mendekati pertigaan Binus Syahdan Rawabelong kendaraan mulai melambat dan lama kelamaan akhirnya berhenti dan terjadilah kemacetan. Kendaraan baru bisa berjalan normal setelah melewati pertigaan tersebut sebelum tejadi kemacetan lagi di pertigaan menjelang trafic light di akhir penghujung jalan Rawabelong.
Memang itulah yang terjadi di sini, mungkin jauh sebelum teman saya datang tempo hari. Ya, daerah Palmerah Rawabelong adalah salah satu daerah yang paling saya hindari dalam perjalanan kemana pun dan dimana pun. Namun dengan rasa menyesal saya katakan bahwa daerah tempat tinggal saya berada di kawasan tersebut. Jadi dengan sendirinya saya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari daerah ini. Tiga kata untuk yang satu ini… Kasian Deh Gue…..
Daerah jalan Rawabelong adalah daerah yang terletak di kawasan kampus Binus (Bina Nusantara) Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat. Kemacetan, panas dan polusi udara akan selalu menyertai para pejalan dan pengendara yang melintas wilayah ini terutama di waktu jam berangkat dan pulang kerja. Selain mungkin dengan keberadaan kampus Binus yang padat dengan mahasiswa, ada beberapa hal yang bisa saya catat selama setahun saya tinggal di area ini.
Pertama adalah faktor angkutan kota alias angkot. Ada dua angkot melewati daerah ini yaitu angkot M11 dan M24. Pertemuan antara keduanya berada di titik pertigaan Jl. KH. Syahdan yang merupakan titik kemacetan terparah didaerah ini. Kita tahu sendiri aksi para tukang angkot yang seringkali menaik dan menurunkan penumpang sesuka hatinya. Selain aksi para sopir tersebut, kehadiran angkot disini menurut saya terlampau berlebihan jumlahnya. Tidak jarang saya melihat satu angkot hanya mengangkut tidak lebih dari 3 penumpang. Menurut saya untuk faktor pertama ini solusi yang efektif adalah mengurangi jumlah angkot yang ada.
Kedua adalah faktor pedagang asongan dan kaki lima. Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan para pedagang ini sedikit banyak mendukung terciptanya kemacetan di daerah ini. Tempo hari saya melihat adanya pembongkaran alas semen yang dibuat oleh para pedagang diatas selokan air oleh dinas pekerjaan umum. Tujuannya kemungkinan besar adalah agar para pedagang tidak lagi berjualan disana. Sepengetahuan saya keberadaan para pedagang ini juga mengganggu para pejalan kaki terutama mahasiswa yang seharusnya mendapat akses untuk keamanan dan kenyamanan berjalan.
Ketiga adalah faktor Seven Eleven Shop. Sejak adanya toko atau apalah sebutannya berjudul seven eleven ini bulan April kemarin, kemacetan di pertigaan Binus-Rawabelong menjadi semakin tak karuan. Kemacetan oleh faktor ini terjadi karena adanya aktivitas parkir motor dan mobil yang membuat beberapa pengendara dan pejalan kaki harus menghentikan sejenak perjalanannya. Secara tidak langsung ketika pengendara didepan berhenti maka pengendara dibelakangnya pun juga berhenti dan pengandara dibelakangnya lagi juga berhenti dan pengendara dibelakangnya lagi berhenti juga dan seterusnya dan seterusnya dan akhirnya lahirlah M.A.C.E.T.
Akhirnya saya hanya bisa merenung dan berdo’a, semoga ada pihak yang mengerti keadaan ini, dan segera membuat solusi untuk mengatasinya. Dan selama itu belum terrealisasi, saya harus bisa ekstra sabar untuk selalu menjalani aktivitasku yang tak terlepas dari kemacetan di Rawabelong ini.
0 komentar:
Post a Comment